Sabtu, 14 April 2012


FORUM PEDULI TELUK BALIKPAPAN
Kawasan pesisir barat Kota Balikpapan


Kawasan pesisir barat Kota Balikpapan, yang merupakan daerah aliran Sungai Puda, Tengah, Berenga, Tempadung, Baruangin dan Kemantis, salah satu bagian pesisir Kalimantan Timur yang masih dalm kondisi bagus. Saat ini, kawasan mangrove di sepanjang pesisir barat Balikpapan dilindungi oleh Perda No 5 Tahun 2006 tentang RTRW Kota Balikpapan Periode 2005 -2015. Tetapi ekosistem tersebut sedang sangat terancam oleh rencana perluasan Kawasan Industri Kariangau (KIK) dari bagian Hilir Teluk Balikpapan  ke daerah Ulu dan rencana jalan Trans Kalimantan yang melewati Pulau Balang. Dengan perluasan Kawasan Industri Kariangau, ekosistem Teluk Balikpapan akan mengalami perusakan luar biasa serius yang tidak bisa dihindari. Ini telah dibuktikan oleh pembangunan dua buah unit pengelolaan minyak sawit mentah atau CPO (Crude palm Oil), yaitu oleh PT Mekar Bumi Andalas (MBA) dan PT Dermaga Kencana Indonesia (DKI), di luar kawasan industri yang telah ditetapkan oleh Master Plan Kawasan Industri Kariangau (KIK) tahun 2004.

Dari 2.189 ha menjadi 5.130 ha, sambil menciptakan kebingungan dengan angka

Pada awalnya, dalam Master Plan KIK yang diusulkan oleh KAPET SASAMBA Kaltim (Kawasan Pengelolaan Terpadu Samarinda Samboja dan Balikpapan) selaku konsultan di pemerintahan provinsi Kalimantan Timur, kawasan industri tersebut direncanakan seluas 2.189 ha (dari Teluk Kariangau sampai ke Teluk Waru). Tetapi dalam rencana baru oleh Dinas Pekerjaan Umum provinsi KIK diusulkan untuk diperluas menjadi 5.130 ha he arah hulu, sampai ke Pulau Balang. Ini ternyata diakomodir di dalam Revisi RTRW Kota Balikpapan 2011 – 2031. Rencana ini jelas berkaitan dengan proyek Jembatan Pulau Balang yang juga mempunyai permasalahan yang cukup signifikan di dalamnya, baik dari aspek ekonomis, maupun lingkungan.
Kadang-kadang angka yang disebut berkaitan dengan perluasan KIK adalah Hanya sekitar 2.770 ha, tetapi ini sebenarnya sebuah contoh dari taktis menyesatkan opini publik dengan cara memanipulasi data statistik. Nilai 2.770 ha adalah hanya kawasan yang direncanakan dibuka langsung dalam kawasan industri yang tetap seluas 5.130 ha. Sisah daerah tersebut, meskipun diklasifikasikan sebagai RTH, pasti akan rusak juga, jika tidak secara langsung, maka secara tidak langsung. Sebenarnya, daerah bahkan lebih luas kemungkinan besar akan terpengaruh karena dampak pembangunan dan pengoperasian industri akan berdampak secara merugikan juga daerah sekitarnya, termasuk Hutan Lindung Sungai Wain.

Perencanaan melawan alam!


Dampak perluasan Kawasan Industri Kariangau sampai ke daerah hulu Teluk Balikpapan bisa dapat menyebabkan bencana ekologis yang luar biasa. Menurut penelitian pada tahun 2006, dan sesuai dengan „common sense”, perairan Teluk Balikpapan merupakan sebuah sistem perairan yang relatif tertutup. Karena tidak ada sungai besar yang beralir ke hulu Teluk Balikpapan, kebanyakan pola arus air Teluk tidak akan keluar ke perairan Selat Makassar dan hanya bergerak dari hulu ke hilir dan kembali dengan pasang dan surut. Berarti, hampir semua sedimentasi yang akan turun ke Teluk Balikpapan akan menetap di Teluk Balikapapan. Demikian pula, dengan buangan limbah industri akan menumpuk di perairan teluk, bukannya terbawa sampai ke Selat Makassar. Dalam jangka panjang, hal ini akan dapat mengakibatkan tingkat polusi yang ekstrim.

 

Dampak perluasan KIK: runtuhnya perikanan


Utamanya, perikanan laut di Teluk Balikpapan akan mati jika KIK diperluas sampai ke Pulau Balang. Saat ini perikanan dan penanaman rumput laut merupakan sumber pendapatan utama untuk beberapa ribu penduduk di kampung-kampung pesisir. Kebanyakan dari masyarakat tersebut tidak bisa mencari pendapatan alternatif, misalnya sebagai karyawan perusahaan, karena tidak mempunyai skill. Kabanyakan nelayan yang memanfaatkan kawasan perikanan di perairan Teluk Balikpapan adalah warga kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) Mereka tinggal di sepanjang pantai barat Teluk Balikpapan. Mereka akan terkena paling parah oleh dampak kerusakan pesisir di sepanjang pantai timur Teluk Balikpapan, yaitu daerah yang termasuk ke wialyah Kota Madya Balikpapan, tetapi mereka tidak akan mendapatkan manfaat apapun dari pembangunan industri tersebut. Ini bisa mengakibatkan konflik di antara Balikpapan dan Penajam Paser Utara.

Selain itu, ikan-ikan, kepiting, udang, siput, tiram dan tudai (kerang) yang ditangkap di kawasan Teluk Balikpapan merupakan bagian penting dari „sea food“ yang merupakan salah satu sumber protein bagi puluhan ribu penduduk Kota Balikpapan dan masyarakat di Kabupaten Penajam Paser Utara. Dan jika sumber makanan ini mengandung unsur kimia dari limbah industri yang telah berakumulasi di Teluk Balikpapan,  maka masalah - masalah kesehatan misalnya, kanker lambung dan kanker oesophagus, bisa menjadi sangat berat.

Ada konflik internal betwen rencana yang berbeda yang diusulkan dalam dokumen rancana RTRW yang sedang diusulkan. Misalnya, ada Rencana dan Strategi Pengembangan Zona Terumbu Karang yang termasuk rehabilitasi terumbu karang, penyebaran benih-benih ikan laut disekitar zona terumbu karang dan melakukan pengawasan dan penelitian. Dad juga Rencana dan Strategi Pengembangan Zona Padang Lamun dengan strategi pengembangan yang mirip. Tetapi dengan rencana perluasan KIK sampai ke ulu Teluk Balikpapan, semua terumbu karang, padang lamun dan rumput laut di Teluk Balikppan akan pasti mati! RTRW yang diusulkan degan cara ini, tanpa memperhatikan persoalan ekologi dan hidrologi setempat, tampaknya tidak layak dan tidak realistis!

Dampak perluasan KIK: pendangkalan Teluk

Pendangkalan air oleh karena sedimentasi akan mengancam bukan hanya produksi laut tetapi sistem perhubungan. Pembukaan lahan hutan di DAS Teluk Balikpapan bisa menghasilkan sampai 7 ton sedimentasi per hektar per tahun, sedangkan kegiatan reklamasi pantai dengan cara „cut and fill“ menghasilkan tingkat erosi dan sedimentasi yang jauh lebih tinggi lagi. Pesisir barat Teluk Balikpapan adalah wilayah berbukit yang tidak mempunyai dataran selain kawasan mangrove di sepanjang pantai. Maka tidak ada cara membangun kawasan industri selain reklamasi pantai dengan cara “cut and fill”, yaitu dengan cara yang paling buruk!

Teluk Balikpapan saat ini relatif dangkal, sekitar 2-10 meter. Hanya bagian sempit dari dasar laut di dekat pantai Kaiangau cukup dalam, sampai 39 meter (telah dilakukan pengukuran pada tahun 1998 dan 1999 oleh Coastal Resources Management Project Kalimantan Timur -  CRMP Kaltim. Tetapi tingkat sedimentasi di daerah ini bisa mencapai 1 - 2 meter per tahun dan pada tahun 2009 kedalaman air di pesisir Teluk Balikpapan – teluk Waru (nama suatu daerah di kelurahan Kariangau yang masih berbatasan dengan Teluk Balikpapan)  diukur ternyata hanya 22 meter yang sebelumnya kedalaman tersebut mencapai 30 – 39 m!

Dampak perluasan KIK: hilangnya keanekaragaman hayati

Dampak rencana perluasan Kawasan Industri Kariangau terhadap keanekaragaman hayati akan semakin luar biasa. Habitat-habitat yang masih terdapat di daerah ini termasuk hutan primer Dipterokarpaceae, hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Daerah ini masih merupakan habitat beruang madu, macan dahan, bekantan, pesut, duyung, buaya muara dan penyu hijau. Masih bisa ditemukan lebih dari 100 jenis mamalia, sekitar 300 jenis burung, lebih dari 1000 jenis pohon, dll. Populasi bekantan, yaitu 1400 ekor, adalah salah satu di antara 6 populasi bekantan yang terbesar dan merupakan sekitar 5 % dari bekantan di seluruh Pulau Kalimantan. Populasi pesut laut masih sebesar 60-140 ekor dan populasi duyung, meskiupun tidak besar, merupakan salah satu di antara beberapa populasi terakhir yang masih tersisa di Pulau Kalimantan. Jumlah jenis tumbuhan mangrove di Teluk Balikpapan mencapai 40 jenis, yaitu sekitar separoh dari semua jenis yang tercatat dari benua Asia. Selain itu, Sebagian dari hutan mangrove di Teluk Balikpapan adalah hutan primer dengan pohon lebih dari 20 meter tinggi, yang sangat jarang ditemukan di Kalimantan. Dengan pembukaan lahan untuk industri dan pemukiman, serta pencemaran laut, maka fauna dan flora yang langka ini tidak bisa diselamatkan!

Dampak perluasan KIK: hilangnya reputasi yang baik

Saat ini, Teluk Balikpapan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk kegiatan perikanan, ekowisata, pendidikan dan promosi citra hijau daerah. Sepertinya tidak ada tempat lain di Indonesia di mana seseorang bisa mengalami habitat alami yang begitu kaya hanya dalam 1 jam perjalanan dari bandara internasional. Balikpapan  adalah kota paling kaya keanekaragaman hayati di seluruh Asia dan mungkin salah satu dari 4 kota yang paling biodiverse di dunia. Akan sangat menyedihkan jika semua ini akan hilang karena perencanaan pembangunan industri yang tidak berkelanjutan secara ekologis!

Greenwashing


Para pendukung rencana perpanjangan KIK sebenarnya mencoba untuk menciptakan citra hijau kawasan industri, menggunakan banyak greenwashing dan propaganda yang tidak benar. Beberapa konsep dalam rencana perluasan KIK terlihat cantik di atas kertas tetapi tidak begitu di lapangan! Contoh ini meliputi konsep-konsep seperti Zero Sedimen dan Zero Waste, Jalur Hijau (Green Corridor), Green Belt 100 m dari pantai atau konsep Foresting The City.

Konsep yang tidak berlaku: Zero Sedimen dan Zero Waste

Seperti telah dijelaskan, mengingat topografi dan hidrologi daerah, tidak ada cara untuk menjamin Zero Sedimen dan Zero Waste! Sebuah contoh yang meyakinkan adalah aktivitas PT Dermaga Kencana Indonesia (DKI), yang membuka hanya 23 hektar kawasan hutan di ulu Teluk Balikpapan (dekat Pulau Balang) untuk membangun unit pengelolaan minyak sawit mentah. Setidaknya ada 4 terumbu karang di kedekatan dermaga PT DKI. Kemudian konstruksi dimulai, pada Januari 2010, kondisi terumbu karang yang masih hampir sempurna. Tidak lama setelah konstruksi dimulai, terumbu karang menjadi tertutup oleh lapisan lumpur. Kasus ini dilaporkan kepada Pemerintah dan perusahaan sepakat untuk mengadopsi teknologi yang akan mengurangi sedimentasi dan tidak mempengaruhi terumbu karang. Tapi mereka tidak mampu melakukan itu. Sekarang, kurang dari 2 tahun setelah awal kegiatan, lebih dari 50% karang mati.

Konsep yang tidak berlaku: Jalur Hijau (Green Corridor)

Konsep Jalur Hijau (Green Corridor) yang direncanakan untuk memperboleh pergerakan satwa di antara kawasan pesisir dan kawasan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) adalah salah satu konsep lain yang hanya merupakan propaganda. Masalah pertama adalah bahwa ada hanya ada satu koridor yang direnacana dalam dalam RTRW. Itu jelas tidak cukup karena pantai diusulkan sebagai perluasan KIK lebih dari 12 km panjang dan termasuk 4 DAS (daerah aliran sungai). Tetapi selain itu, satu-satunya koridor yang diusulkan telah rusak akibat pembukaan lahan dalam skala besar oleh PT Mekar Bumi Andals (MBA)! Jadi sebenarnya, tidak ada koridor sejati dalam usulan RTRW sama sekali!

Konsep yang tidak berlaku: Green Belt 100 m

Contoh lain dari propaganda yang tidak benar dalam usulan perluasan KIK adalah Konsep Green Belt 100 m. Mengesampingkan masalah apakah 100 meter cukup atau tidak, sebagian besar pembukaan lahan (termasuk oleh PT MBA dan PT DKI) yang sebenarnya terjadi dalam Green Belt yang dalam teori dapat dilindungi! Dan inspeksi singkat dari lokasi tanah, yang telah diklaim oleh sebagian besar perusahaan, sebagian besar kawasan sabuk hijau akan mengalami deforestasi pada masa depan!

Konsep yang tidak berlaku: Foresting The City dan Penanaman Mangrove

Contoh terakhir dari greenwashing dalam usulan perluasan KIK melibatkan Konsep Foresting The City. Kebanyakan hutan yang akan dibuka untuk pembangunan industri di KIK adalah hutan alami yang mempunyai keanekaragaman hayati yang masih luar biasa tinggi! Bahkan, ini satu-satunya hutan alami yang masih tersisah di Balikpapan di luar kawasan Hutan Lindung Sungai Wain! Isu yang paling kontroversial dalam konsep "Foresting City" adalah penanaman mangrove yang diusulkan ebagai kompensasi kerusakan yang disebabkan oleh reklamasi pantai dan pembukaan lahan lain. Namun, penanaman mangrove di Teluk Balikpapan tidak memiliki manfaat sama sekali bagi hutan mangrove di Teluk Balikpapan! Masih ada cukup pohon induk di sepanjang pesisir untuk memungkinkan regenerasi mangrove secara alami dimanapun kondisi yang cocok. Ini berarti bahwa dimanapun mangrove bisa tumbuh, itu sudah tumbuh. Maka penanaman dilakukan di daerah di mana hutan bakau beregenerasi secara alami atau di mana bibit-bibit tidak dapat tumbuh bahkan jika ditanam (air terlalu dalam, sasar laut terlalu berpasir atau bekas tanah reklamasi). Dalam kedua kasus ini, tidak ada manfaat apapun dari penanaman mangrove bagi lingkungan, namun memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan izin untuk membuka hutan yang adlami dan dalam kondisi bagus! Ironisnya, penanaman mangrove kini menjadi salah satu ancaman utama terhadap keberadaan hutan magrove di Teluk Balikpapan!

Menyalahkan masyarakat


Pemerintah kadang-kadang menyalahkan masyarakat, bukan perusahaan-perusahaan atas kerusakan hutan mangrove di Teluk Balikpapan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Balikpapan, Suryanto,  telah bilang: ”Mangrove tetap terancam apabila dibiarkan terbuka karena masyarakat pun bisa merusak. Lebih baik urusan mangrove juga menjadi tugas bagi pelaku usaha. Mereka wajib menanam.“ Tapi situasi di lapangan sangat berbeda dari ini. Yang sedang merusak mangrove adalah industri, bukan masyarakat! Kegiatan pertambakan dan pembakarang arang oleh masyarakat tidak berlanjut lagi di sepanjang pesisir barat Balikpapan! Bekas tambak-tanbak sedang beregenerasi baik bahkan menjadi habitat yang penting bagi jenis-jenis burung, misalnya the Lesser Adjutant Stork (Leptoptilos javanicus). Bahaya nyata terhadap hutan mangrove adalah reklamasi pantai oleh pihak perusahaan!

Penghargaan yang menyoroti

Balikpapan telah diberikan penghargaan untuk rencana tata ruang yang patut dicontoh oleh Pemerintah Nasional – Departemen PU pada tahun 2005. Rencana tata ruang secara menyeluruh mengintegrasikan perencanaan daratan dan lautan, adalah berdasarkan proses konsultasi publik yang menyeluruh, dan cadangan 52% ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau dari total area secara keseluruhan kawasan Kota Balikpapan, termasuk pesisir barat, yang akan dilindungi sebagai "Kawasan hijau". Penghargaan ini menyoroti kebijaksanaan pemerintah daerah di Kota Balikpapan sehubungan dengan perencanaan tata ruang yang bertanggung jawab, tetapi juga mewajibkan untuk mengikuti peraturan sendiri.

 

Usulan

Dengan perluasan Kawasan Industri Kariangau, ekosistem Teluk Balikpapan akan mengalami kerusakan luar biasa serius, ireversibel, dan tidak dapat dihindari! Satu-satunya solusi adalah membatasi pembangunan industri di daerah Hilir Teluk Balikpapan, sampai ke pelabuhan peti kemas, Kariangau. 

Perlu adanya sinkronisasi dengan adanya upaya rencana penyusunan RTRW (rencana Tata Ruang Wilayah)  kota Balikpapan untuk periode tahun 2005 – 2015 yang diupayakan lewat Konsultasi publik dengan seluruh warga kota Balikpapan dengan RTRW Kabupaten Penajam Paser Utara karena pada kawasan hulu Teluk Balikpapan adalah kawasan lindung (dalam RTRW Kota Balikpapan). Satu-satunya solusi adalah membatasi pembangunan industri hanya di daerah Hilir Teluk Balikpapan, sampai ke pelabuhan peti kemas, Kariangau. Dua perusahaan yang telah membuka lahan di luar KIK, yaitu PT MBA dan PT DKI, bisa di enclave menjadi kawasan industri khusus di dalam kawasan lindung. Jika lahan yang telah ditetapkan oleh Master Plan tidak mencukupi kebutuhan Kawasan Industri Kariangau, kawasan terjadi bisa dibangun sebagai bagian sebuah hinterland yang bersatu dengan Kawasan Industri Penajam /Buluminung yang keberadaannya nantinya di kab. Penajam Paser Utara, kemudian terhubung oleh Jembatan Tanjung Batu di antara kota Balikpapan dan Kab Penajam Paser Utara.

Untuk mencapai tujuan ini, perlu pembahasan dengan duduk bersama antara Pemkot Balikpapan dengan Pemkab. Penajam Paser Utara, bahkan Pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah tersebut sehingga bisa mempengaruhi Blue book Nasional yang dibuat oleh Bappenas. Juga mengusulkan bahwa ada Feasibility Study untuk Jalan Trans Kalimantan lewat Tanjung Batu yang akan mengingat kondisi daerah tersebut dan sangat realistis untuk di jadikan alternatif jembatan dan Jalan Trans Kalimantan.  Perkembangan kawasan industri di Hilir Teluk Balikpapan, di daerah Tanjung Batu, dengan bentuk hinterland di antara Balikpapan dan PPU, adalah solusi yang lebih sesuai dengan kondisi geografis dan ekologis.