Kamis, 27 Oktober 2011

UNDANGAN PARTISIPASI DISKUSI PUBLIK

Sehubungan dengan saran dari  saudara/i pada saat acara Arisan mapala Se-kaltim yang lalu, dibawah koordinasi PKD  ( Pusat Koordinasi Daerah ),  dan beberapa pertemuan dengan  kawan MAPALA, agar GREEMPANKS sebagai  PIPA ( Pusat Informasi Pecinta Alam ) KALTIM, Untuk memfasilitasi  sebuah diskusi public mengenai Lingkungan Hidup.
Atas latar belakang diatas, kami bermaksud untuk memfasilitasi sebuah diskusi pablik mengenai masalah Lingkungan Hidup sekitar Pulau Balang.
Dengan ini kami bermaksud mengundang saudara/I PA Kaltim sekalian dalam acara diskusi publik tersebut,  bersama  dengan Mr. Stan Lhota ( Seorang Pemerhati Lingkungan). Adapun acar ter sebut akaan dilaksanakan pada :
Hari / tanggal     : Minggu, 30 Oktober 20011
Pukul                : 13.00
Tempat             : Aula PKM Politeknik Negeri Samarinda

Selasa, 18 Oktober 2011

Jembatan Pulau Balang

Jembatan Pulau Balang adalah sebuah jembatan yang akan menghubungkan Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Jembatan yang melintasi Teluk Balikpapan ini direncanakan memiliki panjang sekitar 1.750 meter.
Jembatan tersebut akan dibangun dengan jenis konstruksi cable stayed dan pelengkung beton presstres, untuk 2007 ini adalah untuk kegiatan awal untuk mendukung pembangunan konstruksi jembatan. Direncanakan jembatan tersebut dibangun dalam dua bentang, yakni bentang pendek sepanjang 500 meter, dari Penajam Paser Utara ke Pulau Balang dapat dibangun dengan konstruksi jenis pelengkung beton presstres dana APBD yang diperkirakan menelan Rp336,5 miliar dan untuk 2008 akan diusulkan Rp95,96 miliar.
Sementara itu untuk bentang lainnya sepanjang 1.250 meter dari Balikpapan ke Pulau Balang dengan konstruksi cable stayed diharapkan dapat ditanggulangi dengan dana APBN, sehingga diharapkan 2 bentang tersebut sudah selesai dan difungsikan pada 2010. ( Lanjutan )

Kontroversi

Namun, pembangunan jembatan Pulau Balang yang menghubungkan Balikpapan-Penajam Paser Utara (PPU) dinilai kurang efisien[2]. Selain itu, jembatan yang dibangun Pemprov Kaltim itu dinilai akan mengancam kawasan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) sekaligus memutus rantai ekosistem.
Selain itu, dari segi ekonomi, proyek ini merupakan pemborosan anggaran karena jalan yang akan dibangun sebagai akses menuju jembatan terlalu panjang, yakni 100 km.
Sementara itu, pihak pemerhati lingkungan melalui media mengatakan, dampak lingkungan yang akan ditimbulkan melalui pembangunan Jembatan Pulau Balang antara lain adalah terbukanya habitat buaya Sapit di Hutan Rawa Sungai Tempadung untuk di eksploitasi, penurunan populasi Lutung Dahi Putih dan Bekantan, terputusnya jalur menyebrang bagi mamalia melalui sungai, hilangnya tempat perkembangbiakan burung dan ikan, termasuk jenis Pesut, Duyung Karang dan Rumput laut serta berpotensi besar untuk kerusakan hutan. ( Lanjut )>>>

Tambang Hancurkan Tahura Bukit Soeharto
Menyusuri kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kalimantan Timur layaknya memasuki kompleks areal pertambangan. Jangan berharap Anda dapat menghirup hawa sejuk hutan tropis atau rimbunnya pepohonan. Yang ada hanya debu pekat yang dihamburkan truk-truk, yang lalu-lalang mengangkut batubara. Lubang galian menganga di mana-mana, dan teriknya matahari membakar kulit.
Deru roda mobil gardan ganda yang kami tumpangi berhenti di sebuah tambang yang berada di dalam kawasan Tahura Bukit Soeharto, Selasa (12/7). Di depan kami areal tambang sekitar dua hektar terhampar dengan lubang sedalam sekitar 200 meter. Alat-alat berat dengan rakus mengeruk kulit bumi.
”Hancur sudah hutan ini. Kami selaku pengelola seperti tidak dianggap,” kata Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis (PPHT) Universitas Mulawarman, Chandra Dewanaboer, begitu tiba di lokasi.
Miris rasanya menyaksikan pemandangan di dalam kawasan konservasi seluas 67.766 hektar tersebut. Aktivitas pengerukan emas hitam terus berlangsung dengan leluasa. Bahkan, terdapat terminal tambang yang dibangun di dalam kawasan agar dapat mengangkut batubara dengan kapal yang melintasi Sungai Bambangan.
Dari total luas Tahura, 21.271 hektar merupakan bagian dari Hutan Pendidikan dan Penelitian Unmul yang dikelola oleh PPHT Unmul. Namun, tambang-tambang yang beroperasi di wilayah hutan pendidikan itu tidak pernah sekalipun meminta izin atau memberitahukan operasional tambang mereka yang berada di dalam kawasan.
Berdasarkan data PPHT Unmul, terdapat 22 perusahaan tambang batubara yang memiliki izin menambang di sekitar wilayah Tahura, 13 di antaranya bahkan beroperasi di dalam kawasan. Tahura sendiri berada di dua kabupaten, yakni Kutai Kartanegara (Kukar) dan Penajam Paser Utara, tetapi tambang-tambang itu kebanyakan masuk di daerah Kukar.
Makin parah
Keberadaan tambang ini memperparah kondisi hutan Tahura yang sudah banyak terbuka karena tergusur perkebunan rakyat. ”Untuk hutan Unmul saja, kondisi hutan yang masih baik paling tersisa sekitar 6.000 hektar,” kata Chandra. Sejak lama, masyarakat mengokupasi lahan Tahura, terutama di pinggir Jalan Rata Balikpapan-Samarinda, baik untuk permukiman, pertanian lada, maupun kebun nanas.
Ironisnya, tambang batubara yang sedang mengaduk-aduk perut hutan Tahura ini ternyata legal, karena memiliki surat keputusan Menteri Kehutanan. SK terakhir diterbitkan Menhut MS Kaban tahun 2009, ketika wilayah Tahura sebenarnya diperluas dari 61.850 hektar menjadi 67.766 hektar. Dengan perluasan itu, mestinya sejumlah areal tambang yang semula berada di luar kawasan menjadi masuk kawasan, dan mestinya tidak lagi diizinkan beroperasi.
”Tambang-tambang itu memang tetap dapat beroperasi hingga izinnya berakhir,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kaltim Chairil Anwar, yang membenarkan isi SK Menhut itu. Padahal, SK ini menjadi acuan bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan atau mencabut izin kuasa pertambangan.
Kebijakan tersebut, menurut Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Kahar Al Bahri, menunjukkan lemahnya komitmen Kemenhut dalam melindungi kawasan konservasi. ”Kawasan ini seolah-olah dibiarkan rusak dan memperlihatkan menteri yang bersangkutan memang tidak berniat melindungi hutan,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim Andi Harun menegaskan, terbitnya SK yang melegalkan tambang-tambang di Tahura seharusnya dapat dibatalkan karena bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menegaskan tidak boleh ada tambang terbuka di dalam kawasan konservasi. Untuk itu, SK itu harus dicabut.
Kahar menambahkan, SK yang diterbitkan MS Kaban itu bisa batal jika Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mau mengeluarkan SK baru untuk menyelamatkan kondisi Tahura.
Meskipun bertindak berdasarkan SK Menhut, Bupati Kukar Rita Widyasari menyatakan tetap akan menindaklanjuti keberadaan tambang-tambang yang beroperasi di dalam Tahura Bukit Soeharto. ”Kami akan kaji kembali tentang daftar izin tambang yang ada,” kata Rita. Tambang-tambang yang saat ini beroperasi di dalam Tahura itu kebanyakan mendapat izin dari Bupati Kukar saat masih dijabat Syaukani, yang juga ayah Rita.
Selain pengoperasian tambang, juga terdapat jalan selebar enam meter yang membelah hutan di dalam kawasan. Terdapat tiga jalan yang digunakan untuk mengangkut hasil tambang (hauling), yaitu di bagian utara Tahura sepanjang 9,7 kilometer dan dua jalan di selatan sepanjang 8,5 km dan 6,5 km.
Tiga jalan tersebut bahkan dikerjasamakan antara perusahaan tambang, Dinas Kehutanan Kaltim, dan Unmul. Namun, Unmul akhirnya mengundurkan diri dari kerja sama, karena menilai pembukaan jalan telah merusak upaya konservasi. Dishut Kaltim beralasan, jalan yang digunakan untuk mengangkut batubara itu juga dapat mempermudah pekerjaan polisi hutan berpatroli.
Sementara para pejabat daerah terus berpolemik karena tidak mau disalahkan, kondisi hutan Tahura kian rusak. Alat-alat berat terus menghabisi hutan, menghancurkan lahan, dan merusak kondisi lingkungan.
Tak heran jika masyarakat kemudian mengolok Tahura dengan sebutan Tambang Raya Bukit Soeharto....
Referensi

Harry Susilo
Harian KOMPAS